"Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putera-puteri Indonesia, mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia."
Inilah isi Sumpah Pemuda yang kini banyak dipahami masyarakat Indonesia. Tiga kalimat ini dihapal dan dibaca setiap tanggal 28 Oktober untuk menghormati kesepakatan sakral yang dilakukan para pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Tapi sebenarnya bukan ini teks asli yang diikrarkan para pemuda kala itu. Ada perubahan naskah sumpah pemuda yang dilakukan untuk tujuan politis.
Dalam Kerapatan Pemoeda-pemoeda Indonesia di gedung Indonesische Clubgebouw, organisasi kepemudaan seluruh Indonesia berkumpul. Mereka menggelar 'kerapatan', istilah masa itu untuk kongres. Tahun 1926 mereka sudah berkongres untuk pertama kalinya, jadi kongres ini sering disebut Kongres Pemuda II.
Kongres dimulai tanggal 27 Oktober, berlanjut tanggal 28 Oktober. Duduk sebagai Ketua adalah Soegondo Djojopoespito dari PPPI, Djoko Marsaid dari Jong Java sebagai wakil ketua. Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond sebagai sekretaris dan Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond menjabat bendahara. Acara ini dihadiri sekitar 82 peserta dari berbagai organisasi.
Di akhir kongres mereka mengumumkan tiga hal. Inilah tiga ikrar itu dalam ejaan lama bahasa Melayu Hindia Belanda.
Pertama.Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
KedoewaKami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
KetigaKami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Lihatlah poin ketiga, bunyi kalimat itu adalah mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Bukan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Kenapa kata menjunjung yang digunakan, bukan berbahasa satu, bahasa Indonesia?
Justru masalah menyatukan bahasa ini yang paling jadi masalah. Persoalan satu tanah air tak jadi masalah, begitu juga satu bangsa, tak jadi masalah. Mereka merasa satu. Hanya bagaimana soal bahasa?
Di kalangan rakyat jelata, bahasa Melayu pasaran sudah banyak digunakan. Tapi di kalangan cendekiawan dan orang terpelajar, jarang sekali. Mereka terbiasa berbahasa Belanda dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
"Kebanyakan para tokoh pemuda itu berpendidikan Belanda. Mereka justru lebih terbiasa bercakap dalam bahasa Belanda daripada Melayu," kata sejarawan JJ Rizal saat berbincang dengan merdeka.com, Minggu (28/10).
Keith Foulcher, dalam buku Sumpah Pemuda, Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan yang diterbitkan Komunitas Bambu, mencoba menganalisa hal ini. Saat itu peserta Kongres yang berasal dari Jawa, Sunda dan suku lain, seperti menolak meninggalkan bahasa daerah mereka untuk bahasa Melayu.
Sementara itu, Muhammad Yamin yang telah berkampanye menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan di seluruh Sumatera.
Maka sebagai jalan tengah, maka kalimat yang disepakati adalah menjunjung bahasa persatuan. Menghormati bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tanpa meninggalkan bahasa ibu mereka.
Lalu siapa yang mengganti naskah Sumpah Pemuda seperti saat ini?
"Muhammad Yamin dan Soekarno yang mengubah teks itu tahun 1950an. Itu rekayasa politik Soekarno dan Yamin," kata JJ Rizal.
Yamin saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Pendidikan Soekarno merasa butuh mengubah teks sumpah pemuda untuk kepentingan politiknya. Saat itu Indonesia yang masih muda menghadapi separatis di mana-mana. Maka Soekarno melihat sumpah pemuda sebagai sebuah kekuatan yang dia bisa gunakan untuk mengikat.
"Karena keperluan itu, Soekarno mengubah teks. Dia berusaha menguatkan identitas persatuan. Maka kalimat menjunjung diganti menjadi satu bahasa Indonesia. Kalimat itu yang digunakan sampai sekarang."
"Sebenarnya sejak tahun 1930an dan kongres bahasa itu sudah ada satu bahasa, bahasa Indonesia. Tetapi hanya dari seminar ke seminar. Soekarno yang pertama merealisasikannya," tutup Rizal.
sumber: merdeka.com
0 comments:
Post a Comment