Bang Unan hatinya gondok nggak pakai eceng. Dul Kemut, tetangga kostnya, nyetel musik kenceng banget.
Padahal Bang Unan sedang sakit gigi. Ditahan-tahan, Bang Unan akhirnya nggak tahan.
“dasar kampungan. Dia pikir ini di hutan, nyetel musik nggak kira-kira”, geram Bang Unan sambil melangkah ke kamar sebelah, kamar Dul Kemut.
“Dul, tolong kecilin dikit musiknya”, pinta Bang Unan pada Dul Kemut yang sedang tiduran di kamarnya.
“emang kenapa? ini kamar, kamar ane. Tip (tape), juga tip ane. Suka-suka ane dong”, Dul Kemut ngeyel pakai gaya cuek kebo.
“iya, gua tau. Tapi gua lagi sakit gigi nih”, Bang Unan memelas.
“kan yang sakit gigi ente. Berarti bukan urusan ane”.
Bang Unan tak mau ribut. Terpaksalah dia balik badan. Ngejoprak di teras. Menahan sakit hatinya pada Dul
Kemut sambil meringis merasakan giginya yang cenat cenut.
“rongsokan, rongsokan. Bang, ada rongsokan mau dijual nggak?”, tukang rongsokan lewat, menyapa Bang Unan.
“ada sepatu tuh. Ente berani berapa?”.
Tukang rongsokan membolak balik sepatu.
“goceng ya?”, tawarnya.
“tambah dikit. Buat beli obat. Gua sakit gigi nih”, Bang Unan meringis lagi.
“ceban deh”.
“boleh”.
Tukang rongsokan mengulurkan uang sepuluhribu, lalu memasukkan sepatu ke dalam karung. Bang Unan pergi ke warung, beli obat sakit gigi.
Beberapa saat kemudian…
“Bang, ente liat sepatu di teras nggak?”.
“sepatu sapa?”, tanya Bang Unan tanpa menoleh pada Dul Kemut yang berdiri di depan pintu kamarnya.
“ya sepatu ane lah”.
“maap ye. Sepatu ente bukan urusan ane”, sindir Bang Unan.
Dul Kemut mati kutu. Bang Unan puas. Sakit hatinya terbalas.
0 comments:
Post a Comment