Pemerkosaan merupakan salah satu kejahatan tertua di dunia. Sejak berabad-abad yang lalu, pelanggaran terhadap hak asasi manusia ini telah dilakukan. Bahkan hingga saat ini, kasus pemerkosaan terjadi setiap jam di setiap belahan bumi, bahkan menjadi tajuk berita di media massa.
Tetapi masih banyak dari kita yang memiliki pemahaman salah kaprah tentang tindak pemerkosaan. Berikut ini kami tampilkan kebenaran tentang pemerkosaan dari sejumlah yayasan yang menaungi korban-korban pemerkosaan di dunia yang perlu kita pahami.
1.Tak sebatas penetrasi vaginal semata
Menurut Rape Crisis Center of Medina and Summit Counties, pemerkosaan adalah kekerasan seksual yang tidak terbatas pada penetrasi vaginal semata.
Penetrasi anal dan oral yang dilakukan tanpa kesepakatan dari kedua belah pihak pun dikategorikan dalam tindak pemerkosaan.
2.Pemerkosaan didasari nafsu belaka adalah mitos
Pemerkosaan adalah kejahatan yang disebabkan oleh nafsu atau dorongan seksual yang tidak terkontrol dan kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan seksual semata? Itu adalah mitos.
Menurut Roger Williams University, meskipun dorongan seksual ikut terlibat dalam sejumlah kasus pemerkosaan, namun motivasi dalam tindak pemerkosaan tidak sesederhana itu.
Sejumlah riset oleh para psikolog seperti Nicholas Groth menunjukkan motif yang dominan dalam sebagian besar tindak pemerkosaan adalah kekuasaan dan kontrol atas korban, dengan sejumlah kecil pelaku termotivasi oleh kemarahan dan sadisme.
Intinya, pemerkosaan bukan hanya tentang seks. Mayoritas pelaku tindak pemerkosaan memilih tindakan tersebut sebagai upaya untuk mendobrak privasi korban, mempermalukan, dan mengintimidasinya secara fisik maupun mental.
3. Sebagian besar pemerkosaan dilakukan oleh orang terdekat
Salah jika kita beranggapan kalau sebagian besar tindak pemerkosaan dilakukan oleh orang asing berwatak sadis yang ditemui korban di jalan.
Menurut Rape Crisis Center of Medina and Summit Counties, Roger Williams University, dan Rape, Abuse, & Incest National Network (RAINN), lebih dari 50 persen pelaku tindak pemerkosaan adalah orang yang dikenal korban. Banyak di antaranya yang tidak menunjukkan gejala gangguan mental dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan TKP pemerkosaan pun kebanyakan lokasi yang familiar bagi korban sendiri.
4. Tidak melawan bukan berarti suka sama suka
"Saya sama sekali tidak melawan. Saya tidak tahu apakah yang terjadi kepada saya termasuk tindak pemerkosaan."
Korban perkosaan seringkali tidak melakukan perlawanan karena terlalu takut, merasa terancam, atau merasa tak sanggup membela diri.
Menurut Rape Crisis Center of Medina and Summit Counties, sedikit sekali korban pemerkosaan yang tidak sanggup melawan karena berada di bawah pengaruh alkohol atau narkoba.
Bahkan sebagian besar korban pemerkosaan tidak menunjukkan tanda-tanda cedera fisik. Mereka tidak diancam dengan pisau atau pukulan. Ancaman pelaku bisa jadi melibatkan intimidasi fisik sederhana atau verbal saja. Tetapi, meskipun pelaku tidak menggunakan kekerasan fisik dan korban tidak melakukan perlawanan, tidak berarti hubungan seksual yang terjadi adalah suka sama suka.
5. Bukan karena cara berpakaian korban
Pemerkosaan bukan tentang bagaimana korban berpakaian atau bagaimana cara dia duduk di atas kendaraan. Meskipun banyak wanita yang mengenakan busana tak sesuai norma masyarakat, bukan berarti mereka sengaja menempatkan diri untuk menjadi target pemerkosa. Dan jelas bukan berarti tindak pemerkosaan yang terjadi pada diri mereka bisa dimaklumi.
Bahkan di negara-negara di mana orang menggunakan pakaian serba tertutup, kasus pemerkosaan masih sering terjadi. Sekali lagi, hasrat seksual bukan motif utama dan satu-satunya alasan dalam pemerkosaan.
6. Pria juga bisa jadi korban pemerkosaan
Menurut RAINN, pria juga bisa menjadi korban pemerkosaan. Kebanyakan dari kita beranggapan kalau penetrasi tidak bisa terjadi tanpa partisipasi sukarela dari pria. Kenyataannya, pria bisa mengalami ereksi saat berada dalam tekanan mental (misalnya ancaman).
Kebanyakan pelaku tindak pemerkosaan pada pria adalah pria lain atau wanita dewasa yang melakukan pelecehan kepada korban saat anak-anak. Selain itu, umumnya korban pria mengalami dampak emosional yang lebih signifikan daripada wanita karena merasa harga diri mereka terluka.
7. Sebagian besar tak dilaporkan dan diadili
Menurut data dari RAINN, 68 persen tindak pemerkosaan yang terjadi tidak dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Dan 98 persen pelaku tindak pemerkosaan tidak dihukum dengan sepantasnya.
8.Korban pemerkosaan rentan depresi dan trauma
Menurut data Menurut Rape Crisis Center of Medina and Summit Counties, korban pemerkosaan memiliki kecenderungan 3 kali lipat untuk mengalami depresi daripada orang biasa dan kecenderungan 6 kali lipat untuk mengalami trauma.
Akibatnya, mereka juga memiliki kecenderungan yang jauh lebih besar lagi untuk kecanduan alkohol, obat-obatan terlarang, dan bunuh diri. Mereka umumnya dihantui rasa malu, takut akan penghakiman orang sekitar, dan perasaan bersalah karena tidak melakukan lebih untuk melawan pelaku pemerkosaan. [merdeka.com]
0 comments:
Post a Comment