5 Pejuang yang Menolak Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan


Tempat peristirahatan terakhir khusus diberikan kepada para pejuang republik ini. Siapa yang berjasa untuk negara, mendapat kehormatan dikebumikan di taman makam pahlawan. Tentu ada dasarnya siapa saja yang boleh dimakamkan di taman makam pahlawan. 

5 Pejuang yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan

"Siapa pun berhak dimakamkan di sana, tapi ada syaratnya, salah satunya siapa pun sudah mendapatkan paling tidak bintang gerilya, maka dia berhak dimakamkan di taman makam pahlawan," kata sejarawan Anhar Gonggong kepada merdeka.com. Tapi, ujar Anhar, semua orang bisa menolak untuk dimakamkan di sana.

1. Soerjadi Soerjadarma


Soerjadi Soerjadarma dikenal sebagai pendiri dan bapak Angkatan Udara Republik Indonesia. Dia adalah Kepala Staf TNI AU yang pertama menjabat dari 1946 hingga 1962. Dialah sosok yang ditugaskan membentuk AURI oleh Presiden Soekarno dan diangkat sebagai KASAU (Pertama) pada 9 April 1946. Pada 1960, jabatannnya ditingkatkan sebagai Menteri/Kastaf AURI.

Sesungguhnya Suryadi Suryadarma layak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tetapi, Suryadi berpesan, kalau meninggal, hendaknya diistirahatkan di pemakaman umum saja. Soerjadi meninggal sehari sebelum peringatan kemerdekaan RI, 16 Agustus 1975.

KASAU Marsekal TNI Saleh Basarah memberikan sambutan waktu melepas pemberangkatan jenazah dari Markas besar AURI ke pemakaman Karet, Jakarta pada 17 Agustus 1975. Isi sambutannya: "Selama Suryadarma memegang tampuk pimpinan Angkatan Udara Indonesia sampai tahun 1962, ia lebih menitikberatkan kepada masalah teknis militer. Semboyannya yang selalu ditegaskan pada para perwira muda ABRI adalah, 'Jadilah perwira-perwira sejati dan pembela Tanah Air'."

2. Ali Sadikin

5 Pejuang yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan

Ali Sadikin merupakan Gubernur DKI Jakarta ke 9 yang menjabat dari tahun 1966-1977. Bisa dikatakan satu-satunya gubernur Jakarta yang membawa banyak perubahan. Sampai sekarang, belum ada yang bisa menandingi kehebatan Bang Ali. Di bawah pemerintahannya, Jakarta mampu dirombak menjadi sebuah kota metropolitan modern.

Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, dan pusat pelestarian budawa Betawi di Condet Jakarta Timur adalah bentuk pengabdian Bang Ali selama menjabat sebagai gubernur.

Selama menjabat sebagai gubernur, banyak kebijakannya menjadi sumbangsih besar untuk keberlangsungan Kota Jakarta. Ali Sadikin meninggal dunia di Singapura, ketika umurnya mencapai 80 tahun.

Dengan segala predikat itu, Ali Sadikin layak diberi tempat di Taman Makam Pahlawan. Namun, Ali Sadikin enggan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Menurut putranya Boy Sadikin, Ali Sadikin ingin dimakamkan satu liang dengan istrinya. Ali Sadikin ingin dimakamkan di Tanah Kusir, tidak mau di Kalibata.

3. Sarwo Edhie Wibowo


Sarwo Edhie Wibowo lahir di Purworejo, 25 Juli 1925. Sarwo Edhie adalah seorang tokoh militer Indonesia serta ayah dari Kristiani Herrawati, ibu negara RI dan juga ayah dari KSAD Pramono Edhie Wibowo.

Perannya sangat besar sewaktu penumpasan Pemberontakan G30S PKI dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau Kopassus saat ini). Sarwo Edhie meninggal di Jakarta 9 November 1989 dan dimakamkan di tempat kelahirannya Ngupasan, Pangenjurutengah, Purworejo, Jawa Tengah. Saat meninggal, Presiden RI ketika itu Soeharto mengusulkan agar Sarwo Edhie dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibara. Tetapi pihak keluarga menolak dengan santun. "Papi pernah berpesan agar dia dimakamkan di pemakaman leluhurnya di Purworejo jika wafat. Bagi kami pesan itu harus dipatuhi. Pak Harto setuju," tulis Ibu Ani Yudhoyono dalam bukunya Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajurit. 

Pemakaman Sarwo Edhie dilangsungkan bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November 1989. Panglima TNI ketika itu Try Sutrisno melepas jenazah dari Cijantung. Pemerintah meminjamkan pesawat Hercules yang membawa jenazah hingga Yogyakarta diteruskan perjalanan darat menuju Purworejo.

4. Bung Hatta

5 Pejuang yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan

Bung Hatta yang dikenal sebagai Gandi dari Indonesia itu dikenal sangat ingin menyelami kehidupan sebagai rakyat Indonesia. Ketika meninggal dunia pun Hatta tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Dia hanya ingin dimakamkan di taman makam biasa.

"Saya ingin dikubur di kuburan rakyat biasa. Saya adalah rakyat biasa," kata Hatta dikutip dari buku "Bung Hatta Menjawab" karangan Z Yasni. 

Mengapa Bung Hatta menolak dikubur di makam pahlawan?

Menurut sejarawan Anhar Gonggong, Hatta menolak karena dia pernah mengaudit korupsi Muhammad Taher (mantan asisten Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo) yang kabur ke Singapura. Namun, ketika Taher meninggal dia dimakamkan di taman makam pahlawan.

"Itulah kesulitannya, apakah orang sudah dimakamkan di taman makam pahlawan tidak boleh dibongkar makamnya untuk dikeluarkan karena dia pengkhianat? Dalam arti kata Muhammad Taher, koruptor besar. Memang peraturan itu tidak ada. Itu pantas Anda pertanyakan. Apakah koruptor yang dimakamkan dalam taman makam pahlawan boleh dikeluarkan? Setahu saya tidak ada peraturan membahas hal itu," kata Anhar Gonggong kepada merdeka.com

5. Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa

5 Pejuang yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan

Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin adalah Gubernur Pertama Sumatera Barat. Dia menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Kaharoeddin memilih dimakamkan di pemakaman umum, di tengah-tengah rakyat biasa.

Kaharoeddin berjuang sejak zaman Jepang. Dialah yang memimpin para polisi dan pejuang merebut senjata tentara Jepang di Sumatera Tengah dan sekitarnya. Saat kemerdekaan dan agresi militer Belanda I dan II dia masuk hutan dan memimpin polisi berperang mengusir Belanda.

Kaharoeddin juga tetap setia pada Republik Indonesia saat pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dia tidak gentar meski ditodong pistol pemberontak yang memaksanya memihak mereka. Demikian dikutip dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan, terbitan Pustaka Sinar Harapan tahun 1998.

Tanda jasanya berderet. Mulai dari Bintang Gerilya, Bintang Darma, Bintang Bhayangkara Kelas III, Satyalencana Perang Kemerdekaan I dan II, serta tanda jasa pahlawan dari Presiden Soekarno.

Tapi semasa hidupnya, Kaharoeddin sudah berpesan agar dimakamkan di pemakaman umum biasa saja. Kaharoeddin meninggal di usianya yang ke-75, pada 1 April 1981. Saat itu putranya, Andrin Kahar, mencarikan makam untuk ayahnya di Pemakaman Tunggul Hitam. Setelah dapat dia melapor ke Wali Kota Padang.

Pihak Wali Kota mengecek lokasi makam itu. Ternyata letaknya di tengah-tengah makam lain dan sempit. Asisten Wali Kota Padang, Syahrul Udjud langsung marah pada pengurus makam saat melihat letak makam itu. "Kamu kira ini makam untuk siapa? Ini untuk makam bekas gubernur," kata Syahrul yang di kemudian hari juga menjabat sebagai Wali Kota Padang ini.

Akhirnya Syahrul memilihkan lokasi makam yang lebih cocok di pemakaman itu. Pertimbangannya pemakaman akan dilakukan dengan upaca kebesaran militer.

Sore hari, Kamis 2 April 1981, Asisten Intelpam Kapolri, Mayjen Polisi Kartono memimpin upacara pemakaman, mewakili Kapolri. Maka berakhirlah tugas Kaharoeddin di dunia. Sejarah mencatatnya sebagai polisi antikorupsi yang tak mampu membeli rumah hingga ajal menjemputnya. Kaharoeddin mewariskan teladan dan kehormatan seorang perwira.

sumber: merdeka.com

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment