Pernahkah berpikir bagaimana Islam dan bahasa Melayu (60% serapan dari bahasa Arab) dapat tumbuh subur di Nusantara? Sedangkan di negeri kuno Burma, Siam, Vietnam dan Kamboja, Islam hanya minoritas!
Kami menduga ada peran tak langsung dari politik Gajah Mada di Kerajaan Majapahit yang nota bene bukan kesultanan Islam. Bahkan Gayatri Rajapatni- Arsitek politik Majapahit – pun kaget dan kagum atas kemampuaan politik Gajah Mada yang baginya dianggap sudra misterius.
Dalam buku “Gayatri Rajapatni” Karya Earl Drake Hal 109-117, terlihat Drake tidak mengetahui bagaimana Gajah Mada memiliki wawasan yang luas,bahkan di luar nalar pejabat Majapahit saat itu.
Ada beberapa politik Gajah Mada yang luar biasa, yang akhirnya membawa kejayaan bagi Majapahit di Nusantara, seperti :
1) Memperluas wilayah Majapahit dengan menundukkan Kerajaan-kerajaan di Nusantara, saat beliau di lantik menjadi Maha Patih, dengan tekad Sumpah Palapa ( Tan ayun amukti Palapa- tidak buka puasa sebelum tercapai cita-cita, itu adalah puasa ala nabi Daud AS.)
2) Menyusun kitab hukum “Kutara Manawa sastra” yang meniru Al Qanun al Azazi (kitab Hukum syariat Islam)
3) Menerapkan Politik Bahasa penduduk, yaitu : Bagi Pribumi Jawa adalah Bahasa Jawa, dan bagi orang luar Jawa (seberang ) adalah Bahasa Melayu Islam (dengan merombak Bahasa Melayu kuno yang bercampur Bahasa Sansekerta). Politik Bahasa ini menyebar di seluruh Nusantara : dari Pattani , Champa, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, Sulu (Moro Philipina), Darwin Australia, dan semua negeri-negeri polinesia dan micronesia pasifik.
Ketika politik tersebut di terapkan setahap demi setahap, Gayatri Rajapatni kaget dan terheran-heran, karena beliau lah yang mengajari Gajah Mada dalam berpolitik
Pada saat Gajah Mada (atas saran Gayatri) akan mencaplok Bali, Gayatri khawatir atas dominasi peran orang-orang Islam di Majapahit, meskipun muslim adalah penduduk minoritas. Apa lagi setelah di cetaknya Koin dinar emas kerajaan Majapahit yang memuat kalimat syahadat-meski jumlahnya tidak banyak, yang di gunakan untuk alat tukar kepada Aceh, Arab dan India yang muslim.
Kesimpulannya, Islam bukan barang langka di Majapahit. Dalam kitab ”Ying Yai Sheng Lan” yang terbit tahun 1416-1433 (zaman Majapahit mulai mundur, tapi belum benar-benar hancur), karya Ma Huan, juru tulis dan penterjemah Laksana Cheng Ho dalam ekspedisi 1405-1433, tertulis:
Ada tiga golongan dalam Masyarakat di Tuban, Surabaya, kota baru (dusun baru tanpa nama-bisa jadi dusun Lukman Hakim atau kini disebut Luk rejo Lamongan ) dan kota raja Majapahit, yaitu:
1. Kaum Muslim yang menguasai pelabuhan dan perdagangan (pribumi, Arab, India dan keturunan campur).
2. Pendatang Cina suku Tang (juga muslim).
3. Pribumi Jawa Hindu-Budha yang tidak pakai baju, rambut terurai acak-acakan atau di gelung, berciri wajah jelek (jarang mandi).
Bagi rakyat dan pejabat Majapahit, kaum muslim (pribumi dan pendatang) yang bercirikan pakaian rapi, wajah cerah karena sering wudlu, santun, jujur, pandai (memiliki berbagai keahlian—karena mereka adalah para insinyur pendatang dari Baghdad dan Andalusia Islam) sangat disegani dan di hormati. Golongan minoritas ini mendapat posisi yang strategis dalam struktur masyarakat Majapahit, bahkan mendapat jabatan khusus di Trowulan kotaraja.Akhirnya merekapun mendapat fasilitas pemakaman khusus di Troloyo.
Memang pada abad pertengahan tidak lah aneh apabila dalam kerajaan besar yang bukan kesultanan Islam memiliki jendral atau perdana menteri seorang muslim. Seperti kerajaan Cina, kaisar Yong le yang memiliki Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam. Tetapi dalam kasus Majapahit, Gajah Mada sengaja menyembunyikan identitas diri dan keluarganya demi keselamatan nyawanya dari saingan politiknya.
Diduga Gajah Mada menjadi seorang muslim ketika beliau menjadi bhayangkara, atau mungkin beberapa saat sebelum menjadi Maha Patih. Itulah sebabnya, kenapa Gajah Mada memilih bertempat tinggal di luar kompleks kraton. Tentu agar dia bisa bebas melaksanakan ibadahnya tanpa diketahui pihak istana selain juga memudahkan rakyat jelata berhubungan dengan beliau, tanpa mengenal protokoler kasta.
Gajah Mada pun memisahkan antara keyakinan pribadi dengan tugas Negara. Beliau menghargai Gayatri Rajapatni yang beragama Budha, dan atas desakan Mayoritas Masyarakat Hindu Jawa, maka Gayatri diizinkan oleh Gajah Mada untuk di-Hindukan melalui pembuatan patung dan candi (baca buku Earl Drake “ Gayatri Rajapatni”)
Akhir Juni 2012, kami Tim riset “Gajah Mada Bangkit, Nusantara Berjaya” yang terdiri dari : Viddy Ad Daery, Sufyan al Jawi, dan Drs. Mat Rais, secara tak terduga menemukan bukti-bukti adanya penduduk minoritas Muslim zaman Majapahit abad 14-15, seperti ketika di temukannya situs Medalem, Modo , Lamongan yang terdiri dari 4 (empat) buah makam Muslim Majapahit yang di duga masih kerabat Gajah Mada. Dan kami pun menjumpai penduduk pribumi dengan wajah dan tubuh berpostur Mongoloid.
Sejarah diungkap bukan untuk bernostalgia atau menina bobokan bangsa dalam mimpi yang tidak berakhir. Sejarah adalah langkah pendorong terciptanya semangat baru untuk masa depan.
SUFYAN AL JAWI (Arkeolog di Numismatic Indonesia)
apaupun yang anda bilang,, fakta sejarah berupa candi dan peningglanlan majapahit lainnya serta keturunan gajah mada di Bali menyatakan bahwa majapahit adalah kerajaan yang bercorak hindu Budha.
ReplyDelete