Bicara masalah zuhud, mungkin yang tergambar dalam benak kita sesosok pribadi berpenampilan seadanya, bila tak disebut kumuh, lecek, kumal, tidak peduli dengan penampilan, dan bahkan memutuskan hubungan dengan dunia. atau sosok lain yang gandrung menyepi, baik di tempat keramat ataupun masjid saja, yang sebenarnya lebih pantas dijuluki sebagai pengangguran daripada dengan sebutan ahli ibadah. Seolah-olah dunia bukan bagian hidupnya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah demikian ini pengejawantahan sikap zuhud dalam Islam. Bukankah sahabat Abdurrahman bin Auf radhiyallâhu'anhu merupakan saudagar yang kaya raya? Bukankah Abu Bakar radhiyallâhu'anhu sangat gemar membantu dan membebaskan para budak dengan harta bendanya? Atau lihat juga potret jutawan yang bernama Utsman bin Affan yang kontribusi materilnya sangat besar terhadap kaum muslimin? Di sisi yang lain kita menyaksikan kondisi Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu yang papa, sehingga beliau harus mengganjal perutnya? Atau juga sahabat Abu Dzar Al Ghiffari radhiyallâhu'anhu yang lari untuk menghindari kekuasaan? Apakah itu semua berarti adanya kontradiksi pola kehidupan di antara mereka, para sahabat Nabi tersebut?
Para sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ini, telah menjalani masa-masa kehidupannya dengan begitu cemerlang. Mereka –para sahabat– merupakan pribadi-pribadi yang terpuji. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam menyebutnya sebagai generasi terbaik. Maka mereka pun menjadi orang-orang pilihan yang menjadi cermin nyata bagi generasi selanjutnya, sampai sekarang. Termasuk di dalamnya, kacamata mereka dalam memandang hakikat zuhud. Ini pun juga perlu menjadi rujukan oleh umat. Zuhud ternyata tidak mesti identik dengan ilustrasi keadaan yang seadanya dan “mengenaskan”.
Zuhud, sebagaimana diuraikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh:
“Meninggalkan rasa gemar terhadap perkara yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat. Yaitu perkara mubah yang berlebih dan tidak dapat digunakan untuk mendukung ketaatan kepada Allâh disertai sikap percaya penuh terhadap apa yang ada di sisi Allâh”.
Zuhud secara praktisnya tercermin pada pengekangan seorang hamba dari perkara haram, makruh, dan obyek yang mubah tetapi berlebihan, mengosongkan dunia dari godaan yang bersifat duniawi dan mewaspadai perkara yang masih bersifat syubhat, kabur status hukumnya. Lebih jelasnya, mari kita lihat firman Allâh Ta'âla di bawah ini:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allâh kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allâh telah berbuat baik kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS Al Qashash : 77)
Ibnu Katsir rahimahullâh menjelaskan ayat ini dengan pernyataannya:
“Pergunakanlah karunia yang telah Allâh berikan kepadamu berupa harta dan kenikmatan yang berlimpah ini, untuk mentaati Rabb-mu dan mendekatkan diri kepadaNya dengan berbagai bentuk ketaatan. Dengan itu, kamu memperoleh balasan di dunia dan pahala di akhirat. Firman Allâh ‘Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi’, yaitu segala sesuatu yang diperbolehkan Allâh, yang berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan pernikahan. Sesungguhnya Allâh mempunyai hak atas dirimu. Jiwa ragamu juga mempunyai hak atas dirimu. Keluargamu juga mempunyai hak atas dirimu. Tamumu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka berikanlah tiap-tiap hak kepada pemilikinya.”
Dengan spirit ayat di atas, Islam mengarahkan agar manusia hidup seimbang, tidak menutup mata dari kenikmatan dunia yang telah digelar, tidak pincang dengan menganaktirikan dunia yang pasti dibutuhkan, termasuk di dalamnya menyikapi perkembangan teknologi. Asalkan semua berguna bagi kehidupan akhirat.
Dengan memahami arti zuhud dengan benar, seorang muslim tidak terjebak pada provokasi orang sufi yang salah kaprah memahami makna zuhud; entah dengan cara menjauhi dunia secara totalitas, produk yang mubah, mengutamakan hidup “di bawah garis kemiskinan”, atau antipati terhadap hubungan suci antar lawan jenis yang disyariatkan (baca: pernikahan).
Sekali lagi, pemahaman yang menyimpang akan selalu menjadi bumerang buat setiap orang, meskipun ia telah didaulat sebagai ulama terdepan.
Sebaik-baik sepak terjang seorang hamba adalah yang senantiasa dipayungi dengan cahaya tuntunan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Dan seburuk-buruknya ialah yang berseberangan dengan Nur Ilahi yang sudah terpancar dan diimplementasikan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan para sahabat beliau.
0 comments:
Post a Comment