Dalam dua puluh empat jam sehari, manusia tiada henti, bersamaan atau silih berganti atau juga berurutan, beraktivitas dalam mengupayakan sarana penghidupan, bekerja menjemput rejeki Tuhan yang bertebaran di seluruh permukaan bumi.
Tak ada yang rendah dan tak ada yang tinggi, tiada yang hina dan tiada pula yang mulia, sebab kehidupan adalah saling melengkapi, hilang atau tak berfungsi saja salah satunya akan menjadi suatu masalah yang cukup mengganggu rutinitas keseharian.
Seorang cleaning service atau office boy mungkin dalam kaca mata pandang seorang direktur perusahaan, boleh jadi tak ada artinya hanya sekedar “HANYA” saja, namun saat kedua fungsi itu tidak ada di kantornya, PASTI akan terganggu juga. Siapa yang akan membersihkan seantero gedung kantor dari debu-debu yang menempel, siapa yang akan membersihkan kamar mandi / wc dari kotoran yang melekat dan bau yang menyengat. Siapa juga yang akan membeningkan kaca-kaca gedung kantor dari jejak-jejak sidik jari atau pun noda yang melekat padanya. Siapa juga yang akan membuatkan minuman atau mengantarkan surat-surat pada bagiannya masing-masing. Siapa juga yang akan meneteskan pelumas pada engsel-engsel pintu agar tak berderit saat dibuka tutup. Jadi TAK ADA YANG TAK PENTING. Itu hanya sekedar contoh kecil. Semua fungsi adalah untuk saling melengkapi.
[Jangan pernah meRENDAHkan yang terlihat 'HANYA' di saat ini, jangan pula meTINGGIkan yang terlihat 'WAH' saat ini, sebab tak ada yang tahu rahasia di balik waktu, sebab makhlu selalu TERBATASi RUANG & WAKTUnya. PerGILIRan, perPINDAHan dan perPUTARan itu PASTI. Maka tak usah PANDANGi yang lain, tetapi LIHAT diri sendiri dan PASTIKAN untuk selalu berusaha menjadi LEBIH baik, TAMBAH baik dan MAKIN baik di SEGALA ruang dan di SETIAP waktu.]
BEKERJA, berupaya menjemput rejeki Tuhan adalah kewajiban yang diperintahkan Tuhan itu sendiri. Bekerja adalah suatu perbuatan baik, suatu amal sholih, MAKA jangan sampai bekerja dalam pekerjaan yang merugikan orang lain, jangan sampai bekerja yang menyalahi aturan Tuhan dalam koridor perbuatan baik/amal sholih.
Jadi jangan pernah merasa rendah diri, jangan pula merasa kecil hati terhadap posisi apapun dalam pekerjaan yang kita lakukan. Bukankah Tuhan tidak pernah menilai kemuliaan diri kita dari tampilan luar kita, tidak pernah juga menilai dari pekerjaan kita, namun yang dinilai Tuhan tentang kemuliaan kita adalah dari ketaqwaan kita. Definisi taqwa yang sering di jelaskan oleh para ulama adalah imtisal al-awaamir wajtinabu al-nawahi (melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya). Dalam pengertian saya, secara sederhana, taqwa berarti kesadaran, yaitu kesadaran untuk memelihara kehambaan diri di hadapan Tuhan. Sehingga bila rasa kehambaannya selalu terpelihara, seseorang selalu fokus/mengutamakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh tuhannya yang berarti juga ia akan menjauhi apa yang dilarang oleh tuhannya.
Berarti, agar pekerjaan apa pun yang kita lakoni berbuah kemuliaan di hadapan Tuhan maka kita harus bekerja dengan taqwa, dalam kata lain kita harus bekerja dengan kesadaran. Kalau kita menyadari bahwa bekerja adalah merupakan perintah Tuhan, maka semestinya apa pun pekerjaan kita haruslah kita laksanakan prosesnya dengan sebaik-baiknya, bukan untuk tujuan apa pun tetapi semata-mata sebagai wujud persembahan kita kepada Tuhan. Sebab yang dituntut Tuhan adalah proses pekerjaan itu sendiri bukan hasil pekerjaan, sebab biasanya hasil itu mengikuti prosesnya. Kalau prosesnya bagus, sungguh-sungguh dan penuh kesadaran, maka biasanya hasilnya pun akan optimal.
Mungkin akan indah rasanya bila masing-masing orang apa pun profesinya, apa pun pekerjaannya bekerja dengan kesadaran dan tidak memandang rendah atau pun memandang tinggi satu sama lain, sebab semuanya adalah saling melengkapi, tidak mungkin ada yang mampu untuk benar-benar murni berdiri sendiri tanpa bantuan apa pun dan siapa pun.
Kesadaran itulah yang sudah mulai langka kita temui saat ini, di tengah beban kehidupan yang demikian berat, di dalam tingkat persaingan yang begitu tinggi, kebanyakan orang melakukan pekerjaannya bagaikan robot, otomatis secara mekanis tanpa menyertakan “rasa” di dalamnya. Serba instan, yang penting segera bisa menghasilkan uang, tanpa menyertakan ketaqwaan, tanpa ada kesadaran akan tuntutan Tuhan atas proses pekerjaan yang dilakukan.
[Tak ada yang tiba-tiba, sebagaimana angka yang harus dimulai dari satu, di segala sesuatu pasti ada PROSES. Maka PROSES merupakan pengejawantahan keSABARan, keTEGUHan, keISTIQOMAHan, keYAKINan sekaligus keBERSERAHan dalam meNIKMATi irama kehidupan yang tak pernah sama dalam setiap masa yang terlalui, kini hingga nanti.]
Betapa indahnya negeri ini, seandainya semua rakyatnya mempunyai kesadaran dalam pekerjaannya masing-masing, dalam peran dan penokohannya masing-masing :
Yang jadi Pemimpin Negeri ini dengan kesadarannya benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh rakyat, bukan sekedar jadi teman dekat bagi segelintir orang yang ingin jadi pejabat.
Yang jadi Wakil Rakyat dengan kesadarannya benar-benar membawa manfaat bagi rakyat yang diwakilinya, bukan hanya memperbesar syahwat kekuasaannya.
Yang jadi Da’i dengan kesadarannya benar-benar menyampaikan aturan Tuhan dan mengajak melintas jalan hidayah, bukannya malah menganggap dirinya sumber hidayah dan mengambil alih peran Tuhan.
Yang jadi Guru dengan kesadarannya benar-benar mendidik dan membina serta menyampaikan ilmu yang dikuasainya untuk generasi bangsa, bukan menganggap dirinya sumber ilmu yang otoriter yang malah memasung kreativitas anak bangsa.
Yang jadi Bhayangkara Negara dengan kesadarannya benar-benar menjadi pengayom yang menentramkan bagi seluruh masyarakat tanpa pandang bulu, bukan malah menggelisahkan dengan mengeruk keuntungan pribadi dari balik seragam yang dipakainya.
Yang jadi Garda Keamanan Negeri dengan kesadarannya benar-benar menjadi pelindung bagi keutuhan bangsa dan kedaulatan negara, bukan malah hanya sekedar jadi centeng para orang kaya.
Yang jadi Seniman dengan kesadarannya benar-benar berkesenian yang bias mendidik jiwa dan menghaluskan rasa, bukan hanya sekedar asal tampil nyentrik.
Yang jadi Penulis Buku dengan kesadarannya benar-benar menulis muatan ilmu, bukan sekedar kejar setoran, mengikuti selera pasar, dahsyat di covernya namun melompong isinya.
Yang jadi Pedagang dengan kesadarannya benar-benar menjual yang baik, menjual yang tepat takarannya dan tidak hanya mencari besarnya keuntungan saja.
Yang jadi Aparat Pemerintah dengan kesadarannya benar-benar menjalankan semua tugas dan tanggung jawabnya hingga tuntas, terutama bagi mereka yang memberikan pelayanan secara langsung kepada rakyat dan bukannya malah berpedoman pada : “kalau bisa dibuat sulit, kenapa harus dimudahkan ?”.
Yang jadi Aparat Pemerintah dengan kesadarannya benar-benar menjalankan semua tugas dan tanggung jawabnya hingga tuntas, terutama bagi mereka yang memberikan pelayanan secara langsung kepada rakyat dan bukannya malah berpedoman pada : “kalau bisa dibuat sulit, kenapa harus dimudahkan ?”.
Yang jadi apa pun dengan kesadarannya benar-benar melakukan apa pun secara baik, lebih baik dan semakin baik. Demikian dengan lainnya dan demikian pula seterusnya.
Ada seorang tukang parkir yang menjadi idola saya. Tiap hari selalu terlihat wajahnya cerah bercahaya, gerakannya gesit, siap mengarahkan setiap kendaraan yang parkir di “wilayah”nya, mengatur kerapian sepeda motor dan tak segan-segan selalu membantu mengeluarkan sepeda motor milik pelanggannya. Menerima uang recehan parkir dengan sopan dan tak lupa selalu mengucapkan terima kasih dengan senyum. Senyum yang tulus, senyum yang rela dan menyejukkan bagi yang memandangnya. Dia memberikan pelayanan prima bagi pelanggannya, walau pun tidak ada yang menyuruh, sebab dia kerja secara mandiri. Itulah kesadaran seorang tukang parkir.
Bahkan pengemis pun ada yang menjalankannya dengan kesadaran. Beberapa kali saya temui, tetapi sekarang sudah tak pernah melihatnya lagi. Dia seperti pengemis tapi tidak mengemis, karena tak pernah meminta. Hanya duduk bersimpuh diam beralaskan rumput di pinggir jalan dan berpayung pohon yang tak rindang. Wajahnya besahaja dan bercahaya. Hanya ditemani sebuah buntalan kain dan tak terlihat bekal makanan atau pun minuman yang dibawanya. Berjam-jam dalam posisi yang sama, tak terlihat kegusaran di wajahnya dan tak pernah sekali pun menengadahkan telapak tangannya untuk meminta. Namun setiap ada yang berhenti untuk memberi, dia terima dengan senyum dan ucapan terima kasih.
Semestinya bukan hanya bekerja saja yang harus dengan kesadaran, namun sesungguhnya semua proses aktivitas keseharian kita haruslah dengan kesadaran juga.
SEMOGA kita dimudahkan oleh Tuhan untuk SADAR, hingga nantinya ke mana pun kita menghadap dan apa pun yang kita temui yang kita lihat dengan keSADARan kita adalah Wajah Tuhan
0 comments:
Post a Comment