Aku dibawa ke markas polisi Abbasea. Diseret seperti anjing kurap. Lalu diinterogasi habis-habisan, dibentak-bentak, dimaki-maki dan disumpahserapahi dengan kata-kata kotor. Dianggap tak ubahnya makhluk najis yang menjijikkan. Tuduhan yang dialamatkan kepadaku sangat menyakitkan: memperkosa seorang gadis Mesir hingga hamil hampir tiga bulan.
“Orang Indonesia kau sungguh anak haram. Saat mengandung dirimu, ibumu makan apa heh? Makan bangkai anjing ya? Kau pura-pura menolong gadis malang itu ternyata kau menerkamnya. Kau berani menginjak-injak kehormatan perempuan kami. Kau ini mahasiswa Al Azhar, katanya belajar agama, ternyata manusia bejat berwatak serigala!” Seorang polisi hitam besar membentakku lalu menampar mukaku dengan seluruh kekuatan tangannya. Kurasakan darah mengalir dari hidungku.
“Akui saja, kau yang memperkosa gadis bernama Noura yang jadi tetanggamu di Hadayek Helwan pada jam setengah empat dini hari Kamis 8 Agustus yang lalu? Akui saja, atau kami paksa kau untuk mengaku! Jika kau mengakuinya maka urusannya akan cepat.”
Kata-kata polisi itu membuatku kaget bukan main. Noura hamil dan aku yang dituduh memperkosanya. Sungguh celaka!
Dengan tetap berusaha berkepala dingin aku mencoba menjelaskan kepada mereka itu adalah sebuah tuduhan keji. Lalu kujelaskan semua kronologis kejadian malam itu. Sejak mendengar jeritan Noura disiksa ayah dan kakaknya sampai paginya dititipkan ke rumah Nurul. Tapi penjelasanku dianggap seolah suara keledai. Mereka malah tertawa. Dan menjadikan aku bulan-bulanan oleh hinaan, makian dan tamparan yang membuat bibirku pecah.
“Kami memiliki bukti kuat kaulah pemerkosa gadis malang itu. Dia sangat menyesal mengikuti bujuk rayumu. Dia telah menceritakan semuanya. Dan dia juga punya saksi kau melakukan perbuatan terkutuk yang merusak masa depannya itu. Kau sudah tahu bahwa hukuman pemerkosa di negara ini adalah hukuman gantung. Sekarang kau hanya memiliki dua pilihan. Mengakui perbuatanmu itu, dan kau mungkin akan mendapat keringanan atas kerja samamu. Sehingga kau mungkin tidak akan dihukum gantung. Atau kau tetap bersikeras mengingkarinya dan terpaksa nanti pengadilan akan menggantungmu. Pilih mana?” Polisi hitam besar kembali menggertak. Hatiku sempat ciut. Aku teringat ulama-ulama yang mengalami nasib tragis di tangan para algojo negara ini. Apa pun jalannya, kematian itu satu yaitu mati. Allah sudah menentukan ajal seseorang. Tak akan dimajukan dan dimundurkan. Maka tak ada gunanya bersikap lemah dan takut menghadapi kematian. Dan aku tidak mau mati dalam keadaan mengakui perbuatan biadab yang memang tidak pernah aku lakukan.
“Kapten, aku memilih membuktikan di pengadilan bahwa aku tidak bersalah. Aku yakin negara ini punya undang-undang dan hukum. Aku minta disediakan pengacara!”
“Tindakan bodoh! Di pengadilan kau akan kalah! Kau akan dihukum gantung! Lebih dari itu kau akan masuk surat kabar! Kau akan diteriaki orang- orang sebagai pemerkosa! Kenapa kau tidak memilih mengakuinya dan kita tutup kasus ini diam-diam. Kita buat kesepakatan-kesepakatan dengan keluarga Noura sekarang. Kalau mereka memaafkan kau mungkin akan bernasib lebih baik.Kami masih sedikit berbelas kasihan padamu karena kau orang asing. Kalau kau orang Mesir sudah kami binasakan!” bentak polisi hitam dengan mata melotot.
“Aku bukan pelaku pemerkosaan itu Kapten! Aku akan buktikan bahwa aku tidak bersalah!” tegasku.
“Baiklah aku akan memberimu waktu berpikir dua hari. Jika kau tetap bersikeras tidak mau mengaku dan mengambil jalan kompromi maka terpaksa kau kami seret ke meja hijau dan jangan salahkan kami jika nasibmu berakhir di tiang gantungan dan namamu dilaknat semua orang!”
“Yang berhak melaknat hanya Allah. Dan hanya Allahlah yang tahu segalanya. Aku tidak akan takut dengan caci maki manusia selama aku merasa berada di jalan yang benar!”
“Hahaha…kau ini sok pintar! Jalan benar apa? Apa memperkosa itu jalan yang benar? Kau ini sudah selesai S.1. di Al Azhar. Gadis-gadis Indonesia saja banyak kenapa ketika itu kau tidak memilih menikah dengan salah satu dari mereka. Kenapa kau malah memilih memperkosa gadis malang itu dengan pura- pura mau menolong? Dan itu kau anggap jalan yang benar? Dasar anak anjing! Dasar anak pelacur!” Polisi hitam itu mengumpat-umpat kasar. Entah kenapa mendengar kalimat umpatan terakhir darahku mendidih.
“Kau yang anak anjing! Wajahmu hitam penuh dosa! Kau yang anak pelacur! Yakhrab baitak!” balasku mengumpat dengan sama kasarnya. Wajah polisi itu semakin gosong. Giginya gemerutuk seperti monster mau menelanku. Ia pun melayangkan tangan kanannya ke mukaku.
“Bawa dia ke penjara dan cambuk sepuluh kali atas penghinaannya padaku!” Perintahnya pada tiga anak buahnya yang tadi menangkapku. Tiga polisi itu lalu menggelandangku ke penjara. Inilah untuk pertama kalinya aku masuk penjara. Kami melewati sel-sel yang berisi tahanan yang semuanya orang Mesir. Mereka semua terheran-heran melihat kehadiranku. Tiga polisi itu terus menggelandangku hingga sampai disebuah ruangan kosong. Ada sebuah kursi kayu kusam dan didindingnya tergantung beberapa alat penyiksa. Cambuk. Pentungan dari karet. Ganco. Tali. Dan lain sebagainya.
Polisi gendut melepas pakaianku. Lalu menyuruhku berdiri menghadap tembok. Setelah itu aku merasakan sabetan cambuk yang perih di punggungku. Tidak sepuluh kali tapi lima belas kali. Aku merasakan sakit luar biasa. Mereka lalu melepas borgolku dan menyeretku ke sebuah ruangan, melucuti semua pakaianku kecuali pakaian dalam. Juga sepatuku. Dalam keadaan hanya memakai celana dalam mereka menggunduliku. Lalu melempar seragam tahanan ke arahku. Cepat-cepat aku menutup aurat. Si Kumis menyuruh aku berdiri tegap dengan tangan diletakkan dibelakang punggung. Si Hitam memegang kedua tanganku yang kulipat dibelakang punggung kuat-kuat. Sementara Si Gendut mengikat kedua kakiku. Lalu dengan sangat kurang ajar Si Kumis mempermainkan kemaluanku. Aku menjerit-jerit dan meronta-ronta. Meludahi Si Kumis. Tapi mereka terus saja terbahak-bahak seperti setan. “Ini yang digunakan untuk memperkosa itu oh..oh..oh! Burung kakak tua..hehehe..kecil sekali tak ada apa- apanya dengan milikku…hehehe..tapi berani kurang ajar ya hehehe..hahaha!”
Sungguh perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Aku merasakan penghinaan yang luar biasa. Aku belum pernah merasakan diriku dihina dan kehormatanku dinistakan senista itu. Aku lebih suka dirajam daripada dihina seperti itu. Jika aku sampai terlihat mengucurkan air mata, maka ketiga setan itu akan semakin gila tertawanya. Aku merintih dalam hati. Batinku menangis sejadi- jadinya memohon keadilan kepada Allah. Agar mereka diganjar atas kekurangajaran mereka. Aku terus menjadi bulan-bulanan mereka sampai aku tidak sadarkan diri.
* * *
Ketika sadar, aku berada di sebuah kamar gelap dan pengap.
“Alhamdulillah, kau sudah sadar.” Suara orang yang kurasa sangat tua. Di keremangan cahaya buram lampu di luar kamar yang masuk melalui jeruji pintu sel aku bisa menangkap wajah orang tua berjenggot putih duduk di dekatku.lalu empat orang lainnya. Dua setengah baya dan dua lainnya muda. Mereka semua memakai pakaian tahanan yang lusuh.
“Kelihatannya kau bukan orang Mesir?” tanya kakek tua ramah. Aku sedikit tenang mendengar suaranya yang lembut. Tapi aku kuatir dengan yang empat, kalau mereka orang-orang yang jahat aku bisa jadi bulan-bulanan di penjara ini. Aku pernah mendengar adanya hukum rimba di dalam penjara. Apalagi aku asing sendiri di sini.
“Dari Indonesia.”
“Siapa namamu?”
“Fahri Abdullah Shiddiq.”
“Nama yang bagus. Namaku Abdur Rauf.”
“Apa yang kau lakukan di Mesir?”
“Hanya belajar.”
“Di mana?”
“Di Al Azhar.”
“Masya Allah. Lantas bagaimana ceritanya kau bisa masuk penjara ini?”
“Musibah ini datang begitu saja. Aku dituduh memperkosa gadis Mesir, padahal aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Bagaimana mungkin aku akan melakukannya padahal aku memiliki seorang ibu, bibi, isteri dan nanti mungkin seorang anak perempuan. Aku terkadang tidak bisa memahami sistem yang berlaku di negara ini?”
“Di mana kau ditangkap?”
“Di rumah.”
“Nasibmu masih lebih bagus dariku Anak muda. Aku ditangkap disaat sedang menguji tesis magister di universitas. Di depan sekian banyak orang aku diperlakukan seperti tikus.”
“Jadi Anda seorang guru besar?”
Pemuda berwajah putih yang sejak tadi mematung di pojok ruangan menyahut sambil mendekat, “Beliau adalah Prof. Dr. Abdur Rauf Manshour, guru besar ekonomi pembangunan di Universitas El-Menya. Beliau kemungkinan ditangkap karena kritik-kritik tajamnya di koran! Oh ya perkenalkan namaku Ismail, mahasiswa kedokteran tahun ketiga Universitas Ains Syam, ditangkap karena memimpin demonstrasi di dalam kampus mengutuk tindakan Ariel Sharon menginjak-injak Masjidil Aqsha dan perlakuan kejam tentara Israel pada anak- anak Palestina terutama penembakan Muhammad Al Dorrah dua tahun lalu.”
“Jadi kau sudah dua tahun mendekam di sini?”
“Ya.”
“Dan hanya karena memimpin demonstrasi di dalam kampus?”
“Ya.”
“Aku lebih tragis lagi!” Pemuda yang satunya menyahut, “aku tidak melakukan apa-apa juga ditangkap. Kau tentu tahu demonstrasi di masjid Al Azhar usai shalat Jum’at satu tahun yang lalu yang menentang agresi Amerika ke Afganistan. Demonstrasi itu tidak besar. Bisa dikatakan bukan demonstrasi malah. Lebih tepat dikatakan protes. Ketika orang-orang bertakbir aku ikut bertakbir. Hanya itu. Keluar masjid aku ditangkap dan mendekam di sini sampai sekarang. Kenalkan namaku Ahmad biasa dipanggil Hamada. Aku tidak kuliah, lulus SLTA langsung bekerja di penerbit Muassasa Resala.”
“Muassasa Resala di dekat Abidin Attaba itu?” tanyaku.
“Benar.”
Kami lalu berbincang banyak dan saling mengenal satu sama lain. Dua lelaki setengah baya bernama Haj Rashed, dia kepala sekolah SD dan imam sebuah masjid kecil di Mathariyah. Ditangkap dua bulan lalu karena khutbah Jum’atnya yang pedas. Yang satunya bernama Marwan, mantan pegawai jawatan kereta api, dipenjara sejak setengah tahun lalu karena membunuh tetangganya yang menggoda isterinya.
“Aku ini orang paling besar cemburunya di dunia. Sebenarnya aku sudah bersabar dan beberapa memberi peringatan pada pria kurang ajar itu. Tapi dia sungguh keterlaluan. Rumah kami dua tingkat di atasnya. Suatu ketika isteriku belanja, ketika pulang satu lift dengannya. Di dalam lift itulah dia menggerayangi isteriku. Isteriku lapor padaku. Seketika itu juga kudatangi dia dan kupancung dia. Dia keliru kalau menganggap diriku tidak bisa berbuat sesuatu. Seandainya dengan perbuatanku ini aku akan dihukum mati aku akan menerimanya dengan senang hati. Aku merasa puas karena aku telah membela kehormatan isteriku.”
Cerita Marwan langsung mengingatkan diriku pada Aisha. Oh Aisha, dia tentu sangat sedih sekarang. Dia sendirian di flat memikirkan nasibku dengan penuh kecemasan. Aku menitikkan air mata dan berdoa kepada Allah agar memberikan ketabahan pada Aisha dan agar melindunginya dari segala mara bahaya.
“Orang Indonesia, siapkanlah mentalmu! Kau akan menghadapi hari-hari yang mencekam. Hari-hari yang tidak kau ketahui apakah kau masih hidup atau telah mati. Kamar kita ini hanya berukuran tiga kali tiga. Kau lihat aku berdiri di atas genangan Air. Padahal sekarang sudah mulai masuk musim dingin. Setengah ruangan ini tergenang air. Kau kini duduk dibagian yang kering. Selama ini kita tidur bergantian. Terkadang tidur sambil berdiri. Kita diberi kesempatan ke WC dan kamar mandi sehari sekali menjelang shubuh. Itupun dalam antrean yang panjang dan terkadang kita sama sekali tidak punya kesempatan ke WC karena waktu yang diberikan telah habis. Siapkanlah mentalmu!” kata Professor Abdul Rauf.
“Gelap dan pengap. Apakah kita berada di bawah tanah?” tanyaku.
“Benar! Oh ya, tadi kau pingsan cukup lama. Kelihatannya kau belum shalat ashar,” jawab Professor Abdul Rauf.
“Astaghfirullah. Pukul berapa sekarang?” tanyaku.
“Pastinya tidak tahu, tapi sebentar lagi maghrib datang.”
“Tayammum?”
“Ya.”
Aku lalu tayammum dan shalat. Selesai shalat Professor Abdul Rauf memimpin kami membaca doa dan dzikir sore hari. Ditutup doa rabithah yang dibaca oleh Haj Rashed. Tak lama setelah itu azan maghrib berkumandang. Adil bergumam lirih,
“Ya Allah, inilah saat malam-Mu datang menjelang, dan siang-Mu telah berlalu, dan inilah suara dari para penyeru-Mu maka ampunilah kami.”
Karena tempat yang sempit kami tidak bisa berjamaah sekaligus. Terpaksa dibagi dua jamaah bergantian. Aku diminta menjadi imam jamaah kedua, dengan alasan aku satu-satunya yang dari Al Azhar. Aku membaca surat Yusuf, ayat-ayat yang menceritakan nabi mulia itu dipenjara di Mesir karena tuduhan Zulaikha. Sungguh nasibku tak jauh berbeda dengan Yusuf. Noura mengaku aku telah memperkosanya. Aku menangis dalam shalat.
“Bacaan Al-Qur’anmu indah dan tartil, di mana kau talaqqi?” tanya Haj Rashed
“Di Shubra. Pada Syaikh Ustman Abdul Fattah.”
“Yang di masjid Abu Bakar itu?”
“Benar.”
“Pantas. Besok malam sudah mulai tarawih. Kau saja imamnya ya?” Pertanyaannya kembali mengigatkan aku pada Aisha. Dia akan menjalani Ramadhan sendirian dengan hati sedih. Rencana umrah ke tanah suci dan berhari raya di Indonesia tidak jadi. Oh begitu cepat perubahan terjadi. Kemarin malam aku masih tidur nyaman di hotel berbintang di Alexandria bercinta dengan Aisha begitu mesranya. Malam ini aku meringkuk kedinginan di penjara bawah tanah. Aku nyaris tidak bisa memejamkan mata. Seluruh tulang terasa ngilu, kulit kedinginan, punggung perih bukan main, dan kemaluan sakit luar biasa. Bayang- bayang kematian mengintai di semua sudut ruangan, tapi aku bersikeras untuk bertahan.
Keesokan harinya terdengar langkah sepatu bot. Lalu suara orang membentak sambil menggedor pintu sel, “Tahanan nomor 879!”
Tak ada yang menjawab. Semua diam. Ismail dan Haj Rashed berpandangan.
“Hai tahanan 879! Anjing! Dungu ya?” Sipir penjara itu marah sekali. Ismail menepuk pundakku. “Coba lihat nomormu!” Pelannya. Ia lalu mendekatkan matanya ke dadaku. Dalam keremangan gelap tertulis di sana nomor 879. Berarti aku yang dimaksud. Aku lalu beranjak menuju pintu yang telah dibuka. Sipir itu langsung menarikku dengan kasar dan menendangku, “Dungu kau!”
Aku kembali dibawa ke ruang interogasi. Polisi hitam besar yang kemarin mengintrogasiku telah menunggu dengan segelas teh kental di tangan kanannya. Begitu aku masuk ia tersenyum sinis. Dua orang polisi yang kemarin menangkapku juga ada di situ. Si Hitam dan Si Gendut. Aku tidak melihat Si Kumis yang kurang ajar itu.
“Bagaimana orang Indonesia? Kau mau mengakui perbuatanmu? Aku berjanji akan mengusahakan keringanan hukumannya?” tanyanya.
“Aku tidak berubah pikiran. Aku tidak melakukan perbuatan dosa itu. Bagaimana mungkin aku akan mengakuinya. Aku akan buktikan bahwa aku tidak bersalah!” jawabku tegas.
“Semua penjahat selalu berkata begitu. Kau sungguh bodoh! Jika kau sampai ke meja hijau kau akan kalah. Bukti kau bersalah sangat kuat! Kau akan digantung! Kau masih punya kesempatan satu hari untuk berpikir. Sipir beri dia sedikit sarapan pagi biar pikirannya cerah!”
Dua anak buahnya itu lalu membawaku ke ruangan penyiksaan. Aku disuruh berdiri tegak. Si hitam mengangkat kursi kayu, dua kaki belakang kursi itu diletakkan diatas telapak kakiku. Dan Si Polisi Gendut lalu menduduki kursi itu. Terang saja aku menjerit kesakitan. Telapak kakiku terasa remuk tulang- tulangnya. Dan ketika aku menjerit Si Hitam menjejalkan roti keras ke mulutku hingga menyodok tenggorokanku. Aku mau muntah tapi raoti kering itu tetap dijejalkan ke mulutku. Ketika aku sudah tidak tahan dan nyaris pingsan ia menarik roti itu dan si gendut bangkit dari kursi itu. Aku dibiarkan istirahat sebentar, lalu disuruh menghadap ke dinding dan dicambuk lima kali. Belum juga puas, mereka lalu menyodok perutku yang masih kosong dengan popor bedil tiga kali sampai aku muntah. Rupanya itu yang dimaksud dengan sedikit sarapan pagi. Dengan tubuh lemas aku diseret dan dilempar kembali di sel bawah tanah. Dan aku jatuh tertelungkup di dalam sel tak sadarkan diri.
0 comments:
Post a Comment